Smartwatch & Obrolan Siang Hari: Ketika Logika Bertemu Estetika
povSmartwatch & Obrolan Siang Hari: Ketika Logika Bertemu Estetika
Tadi siang, di tengah kesibukan di sela kerja (yang makin lama makin mirip lomba multitasking ðŸ˜), saya sempat ngobrol bareng salah satu rekan kerja saya—sebut saja namanya Wahyu. Obrolannya santai, tapi lama-lama jadi agak serius… tentang smartwatch.
Iya, cuma smartwatch. Tapi entah kenapa, bahasannya jadi kayak diskusi anggaran musyawarah desa.😅
Ternyata, kami sama-sama lagi ngincer Huawei Watch Fit 4 yang baru rilis. Dari situ, obrolan jadi ngalir—kami bahas soal desainnya yang ramping, layar AMOLED-nya yang manis tapi tetap fungsional, fitur kesehatannya, sampai GPS-nya yang katanya lumayan akurat (dan itu penting, karena kami memang cukup rutin lari bareng untuk menabung otot dan jaga kesehatan—apalagi setelah hasil MCU tahunan kemarin agak bikin kami sadar: usia boleh muda, tapi kolesterol nggak kenal usia 😔).
Saya pribadi condong ke smartwatch ini karena ukurannya pas di tangan, nggak segede gaban tapi juga nggak kayak mainan. Fitur-fitur seperti heart rate monitoring, SpO2, sampai sleep tracking-nya terasa masuk akal buat kebutuhan saya sehari-hari. Bukan cuma buat olahraga, tapi juga pengingat kalau saya harus mulai tidur lebih teratur dan nggak kebanyakan rebahan sambil scrolling marketplace.
Tapi di tengah obrolan yang mulai teknikal dan semi-filosofis itu, dua rekan kerja kami yang lain—perempuan—tiba-tiba nyeletuk sambil ngakak:
“Ih, kalian tuh kalo milih barang meuni riweuh pisan sih, kita mah kalo lucu dan suka yaudah beli aja~”
Dan saya cuma bisa senyum... karena, ya, itu juga valid.
Antara “Lucu” dan “Logis”
Obrolan yang awalnya soal jam tangan ini malah jadi refleksi kecil & ingin saya tulis di blog ini, tentang bagaimana cara kita memutuskan sesuatu. Saya dan Wahyu cenderung banyak mikir—dari fitur, harga, sampai gimana nanti barang itu benar-benar bisa kita pakai, bukan cuma jadi pajangan. Mungkin karena latar belakang kita yang suka olahraga dan ngerasa perangkat kayak gini bisa bantu jaga konsistensi hidup sehat.
Sementara rekan kami yang lain? Simpel. Suka? Ambil. Lucu? Gaskeun.
Dan saya nggak bisa bilang cara mereka salah. Kadang, keputusan paling jujur ya datang dari hati. Lagipula, riset dari Harvard Business Review (2019) juga bilang, banyak keputusan konsumen justru diambil berdasarkan emosi lebih dari logika. Nah lho, jangan-jangan mereka lebih “ilmiah” daripada kami?
Logika, Estetika, atau FOMO?
barang bagus itu bukan yang paling canggih, tapi yang paling cocok dan kepakai.
Jadi, Gimana Sebaiknya Kita Memutuskan Sesuatu?
Saya nggak bilang cara saya dan Wahyu paling benar. Sama sekali nggak. Karena setiap orang punya gayanya masing-masing. Ada yang riset berhari-hari, bikin spreadsheet, dan nonton review YouTube sebelum beli. Ada juga yang cukup satu detik: “Aku suka, aku beli.” Dan dua-duanya sah-sah aja.
Yang penting, keputusan itu nyambung dengan siapa kita, dan nyaman untuk dijalani.
Karena pada akhirnya, entah kamu memilih karena suka, karena logika, atau karena diskon 11.11 yang terlalu menggoda—semua sah-sah aja, asal kamu tahu kenapa kamu memilihnya.
Dan semoga smartwatch ini, siapa pun yang akhirnya beli, nggak cuma jadi penghias pergelangan... tapi juga bisa bantu kita tetap aktif, sehat, dan (sedikit) terlihat lebih keren di jam istirahat.😎
Kalau nggak? Ya minimal bisa buat nunjukin waktu pulang. 😄